Sabtu, 24 Mei 2014

Silsilah Raja Mataram Kasunanan Surakarta

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjORkL7pvwvJ5jmzjadrZRCtGphVyeAGR_j4AG5sDGuaiG8_d0ZokWGRtynJMfiGJosgDIsYjrAtWEkCD_MwijyjhlNXJS4xWciWMe8WZVGAwLWAowxr-kNQGr-FJEX4Nm7U_WgdgBaSfs/s400/ki-ageng-pemanahan2.jpg
Ki Ageng Pemanahan
( Leluhur Trah Mataram )



/users/images/m_63050_518697af.jpg
Makam Ki Ageng Enis di Astana Laweyan Surakarta
( Leluhur Trah Mataram, Beliau Ayahanda K Ageng Pemanahan )





http://i32.tinypic.com/5yxbw0.jpg

Panembahan Senopati
( Raja Mataram I )




Gajah Poro, 
 
Ken Arok (Raja Singosari I ) 
menikah dengan Ken Dedes) ,

 
Maesa Wong Ateleng (Raja Kediri I), 
 
Maesa Cempaka,

 
Lembu Thall, 

 
Raden Wijaya (Raja Majapahit I )
menikah dengan Tri Buwana keturunan dari Tunggul Ametung, Anusapati

 
Ronggowuni,

 
Kertanegara (Raja Singasari IV)), 

 
Tribuwana Tunggadewi 
(menikah dengan Kertawijaya), 

 
Hayam Wuruk,

 
Kusuma Wardani 
(menikah dengan Wikramawardhana), 

 
Rajasa Wardana,

 
 Bhre Kertabumi (Brawijaya V), Raja Majapahit Terakhir

 
Bondan Kejawen 
(menikah dengan Nawangsih keturunan dari Rosulallah jalur Maulana Ibrahim Asmarakandi  ,Maulana Malik Maghribi, Ki Ageng Joko Tarub (menikah dengan Dewi Nawangwulan)), 

 
Ki Ageng Getaspandowo, 

 
Ki Ageng Selo, 

 
Ki Ageng Enis, 

 
Ki Ageng Pemanahan ,

 
Panembahan Senopati , Raja Mataram Jawa I

 
Sunan Sedo Krapyak 
(menikah dengan Ratu Mashadi keturunan Keraton Pengging yaitu Handayaningrat Pengging,Ki Ageng Kebo Kenongo, Sultan Hadiwijaya (Sultan Pajang), Pangeran Benowo I, Pangeran Benowo II),

 
 Sultan Agung Hanyokrokusumo, 

 
Sunan Amangkurat I 
(menikah dengan GKR Wetan keturunan Ki Ageng Giring), 

 
Pakubuwono I ( Raja Keraton Kartasura I )
 menikah dengan Ratu Mas Blitar trah Panembahan Juminah Penguasa Madiun dan Blitar), 

 
Amangkurat IV/Jawi, 

 
Sunan Pakubuwono II,  Raja Kasunanan Surakarta Hadiningrat I

 
Sunan Pakubuwono III, 
( menikah dengan Kanjeng Ratu Kencana , Putra Kyai Tmg Wiraredja seorang Bupati Gedong Tengen Kraton Kasunanan Surakarta yang masih keturunan dari Raden Patah raja Demak I )
 
Sunan Pakubuwono IV, 

 
Sunan Pakubuwono V

 
Sunan Pakubuwono VI

 
Sunan Pakubuwono IX

 
Sunan Pakubuwono X

 
Sunan Pakubuwono XI

 
Sunan Pakubuwono XII

sejarah surakarta

Pendirian dan perkembangan

Kejadian yang memicu pendirian kota ini adalah berkobarnya pemberontakan Sunan Kuning ("Gègèr Pacinan") pada masa pemerintahan Sunan Pakubuwono II, raja Kartasura tahun 1742. Pemberontakan dapat ditumpas dengan bantuan VOC dan keraton Kartasura dapat direbut kembali, namun dengan pengorbanan hilangnya beberapa wilayah warisan Mataram sebagai imbalan untuk bantuan yang diberikan VOC. Bangunan keraton sudah hancur dan dianggap "tercemar". Sunan Pakubuwana II lalu memerintahkan Tumenggung Honggowongso (bernama kecil Joko Sangrib atau Kentol Surawijaya, kelak diberi gelar Tumenggung Arungbinang I) dan Tumenggung Mangkuyudo serta komandan pasukan Belanda, J.A.B. van Hohendorff, untuk mencari lokasi ibu kota/keraton yang baru. Untuk itu dibangunlah keraton baru 20 km ke arah tenggara dari Kartasura, pada 1745, tepatnya di Desa Sala di tepi Bengawan Solo. Nama "Surakarta" diberikan sebagai nama "wisuda" bagi pusat pemerintahan baru ini. (Catatan-catatan lama menyebut bentuk antara "Salakarta"[2]). Pembangunan keraton ini menurut catatan[siapa?] menggunakan bahan kayu jati dari kawasan Alas Kethu, hutan di dekat Wonogiri Kota dan kayunya dihanyutkan melalui Bengawan Solo. Secara resmi, keraton mulai ditempati tanggal 17 Februari 1745 (atau Rabu Pahing 14 Sura 1670 Penanggalan Jawa, Wuku Landep, Windu Sancaya).
Surat Perjanjian Giyanti dari tahun 1755 yang sekarang disimpan di Arsip Nasional RI.
Berlakunya Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755) menyebabkan Surakarta menjadi pusat pemerintahan Kasunanan Surakarta, dengan rajanya Pakubuwono III. Yogyakarta menjadi pusat pemerintahan Kasultanan Yogyakarta, dengan rajanya Mangkubumi (Sultan Hamengkubuwono (HB) I). Keraton dan kota Yogyakarta mulai dibangun pada 1755, dengan pola tata kota yang sama dengan Surakarta yang lebih dulu dibangun.
Perjanjian Salatiga 1757 memperluas wilayah kota ini, dengan diberikannya wilayah sebelah utara keraton kepada pihak Pangeran Sambernyawa (Mangkunagara I). Sejak saat itu, Sala merupakan kota dengan dua sistem administrasi, yang berlaku hingga 1945, pada masa Perang Kemerdekaan Republik Indonesia (RI).

Masa kolonial Belanda 1757-1942

Surakarta pada masa kolonial Belanda merupakan daerah Vorstenlanden atau swapraja, yaitu daerah yang berhak memerintah sendiri / tidak diatur oleh UU seperti daerah lain tetapi diatur dengan kontrak politik antara Gubernur Jenderal dan Sri Sunan. Ada dua macam kontrak politik, yaitu kontrak panjang tentang kesetaraan kekuasaan keraton dengan Belanda, dan pernyataan pendek tentang pengakuan atas kekuasaan Belanda. Kasunanan Surakarta diatur dalam kontrak panjang, sementara Mangkunegaran diatur dalam pernyataan pendek.[3]
Sejak Gubernur Jenderal G.J. Van Heutz (1851-1924), setiap terjadi pergantian raja, maka diadakan pembaharuan kontrak. Kontrak terakhir untuk Kasunanan diatur dalam S 1939/614, sedangkan untuk Mangkunegaran diatur dalam S 1940/543. [3]

Masa pendudukan Jepang 1942-1945

Surakarta pada masa pendudukan Jepang merupakan daerah Kochi atau daerah istimewa. Sri Sunan disebut sebagai Surakarta Koo dan Mangkunegara disebut sebagai Mangkunegoro Koo. Pemerintahan Surakarta disebut sebagai Kooti Sumotyookan. Ketika Jepang mengalami banyak kekalahan dalam Perang Dunia II, maka Jepang mendorong pembentukan badan-badan yang merancang kemerdekaan Indonesia, yaitu BPUPKI dan PPKI. Surakarta sebagai daerah kochi diikutkan dalam keanggotaan BPUPKI dalam merancang UUD 1945. Anggota BPUPKI dari Surakarta adalah Wongsonegoro, Wuryaningrat, Sosrodiningrat, dan Radjiman Widyodiningrat.[3]

Masa Perang Kemerdekaan 1945-1949

Pada masa ini terjadi sejumlah peristiwa politik yang menjadikan wilayah Surakarta kehilangan hak otonominya. Pada masa perang revolusi, Pakubuwana XII naik takhta hampir bersamaan dengan lahirnya Republik Indonesia. Tidak lama setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, pada tanggal 1 September 1945, Sri Sunan Pakubuwana XII mengeluarkan maklumat yang menyatakan bahwa Negeri Surakarta Hadiningrat yang bersifat kerajaan adalah daerah istimewa dari negeri Republik Indonesia dan berdiri di belakang pemerintahan pusat RI. Pada tanggal 6 September 1945 pemerintah RI memberikan piagam kedudukan kepada Sri Sunan Pakubuwana XII yang ditandatangani oleh Soekarno dan tertanggal 19 Agustus 1945.[3]
Komitmen pemerintah untuk menjadikan Surakarta menjadi daerah istimewa ditunjukkan dengan diangkatnya Panji Suroso tanggal 19 Oktober 1945 sebagai komisaris tinggi untuk Surakarta yang bersifat istimewa. Pengakuan tersebut masih diperkuat lagi dengan pemberian pangkat militer kepada Sri Sunan Pakubuwana XII dengan pangkat Letnan Jenderal pada tanggal 1 November 1945.[3]
Belanda yang tidak merelakan kemerdekaan Indonesia berusaha merebut kembali negeri ini dengan kekerasan. Pada bulan Januari 1946 ibu kota Indonesia terpaksa pindah ke Yogyakarta karena Jakarta jatuh ke tangan Belanda.
Pemerintahan Indonesia saat itu dipegang oleh Sutan Syahrir sebagai perdana menteri, selain Presiden Sukarno selaku kepala negara. Sebagaimana umumnya pemerintahan suatu negara, muncul golongan oposisi yang tidak mendukung sistem pemerintahan Sutan Syahrir, misalnya kelompok Jenderal Sudirman.
Karena Yogyakarta menjadi pusat pemerintahan, secara otomatis Surakarta yang merupakan saingan lama menjadi pusat oposisi. Kaum radikal bernama Barisan Banteng yang dipimpin Dr. Muwardi dengan berani menculik Pakubuwana XII sebagai bentuk protes terhadap pemerintah Indonesia.
Barisan Banteng berhasil menguasai Surakarta sedangkan pemerintah Indonesia tidak menumpasnya karena pembelaan Jendral Sudirman. Bahkan, Jendral Sudirman juga berhasil mendesak pemerintah sehingga mencabut status daerah istimewa yang disandang Surakarta. Sejak tanggal 1 Juni 1946 Kasunanan Surakarta hanya berstatus karesidenan yang menjadi bagian wilayah provinsi Jawa Tengah. Pemerintahan dipegang oleh kaum sipil, sedangkan kedudukan Pakubuwana XII hanya sebagai simbol saja.
Pada awal pemerintahannya, Pakubuwana XII dinilai gagal mengambil peran penting dan memanfaatkan situasi politik Republik Indonesia, sehingga pamornya di mata rakyat kalah dibanding Hamengkubuwana IX di Yogyakarta.

D.I. Surakarta dan Pemberontakan Tan Malaka

Begitu mendengar pengumuman tentang kemerdekaan RI, pemimpin Mangkunegaran (Mangkunegara VIII dan Susuhunan Sala (Pakubuwana XII) mengirim kabar dukungan ke Presiden RI Soekarno dan menyatakan bahwa wilayah Surakarta (Mangkunegaran dan Kasunanan) adalah bagian dari RI. Sebagai reaksi atas pengakuan ini, Presiden RI Soekarno menetapkan pembentukan propinsi Daerah Istimewa Surakarta (DIS).[rujukan?]
read  more

Minggu, 19 Januari 2014

sunan Bayat

Sunan Bayat (nama lain: Pangeran Mangkubumi, Susuhunan Tembayat, Sunan Pandanaran (II), atau Wahyu Widayat) adalah tokoh penyebar agama Islam di Jawa yang disebut-sebut dalam sejumlah babad serta cerita-cerita lisan. Ia terkait dengan sejarah Kota Semarang dan penyebaran awal agama Islam di Jawa, meskipun secara tradisional tidak termasuk sebagai Wali Sanga. Makamnya terletak di perbukitan ("Gunung Jabalkat") di wilayah Kecamatan Bayat, Klaten, Jawa Tengah, dan masih ramai diziarahi orang hingga sekarang. Dari sana pula konon ia menyebarkan ajaran Islam kepada masyarakat wilayah Mataram. Tokoh ini dianggap hidup pada masa Kesultanan Demak (abad ke-16).
Terdapat paling tidak empat versi mengenai asal-usulnya, namun semua sepakat bahwa ia adalah putra dari Ki Ageng Pandan Arang, bupati pertama Semarang. Sepeninggal Ki Ageng Pandan Arang, putranya, Pangeran Mangkubumi, menggantikannya sebagai bupati Semarang kedua. Alkisah, ia menjalankan pemerintahan dengan baik dan selalu patuh dengan ajaran – ajaran Islam seperti halnya mendiang ayahnya. Namun lama-kelamaan terjadilah perubahan. Ia yang dulunya sangat baik itu menjadi semakin pudar. Tugas-tugas pemerintahan sering pula dilalaikan, begitu pula mengenai perawatan pondok-pondok pesantren dan tempat-tempat ibadah.
Sultan Demak Bintara, yang mengetahui hal ini, lalu mengutus Sunan Kalijaga dari Kadilangu, Demak, untuk menyadarkannya. Terdapat variasi cerita menurut beberapa babad tentang bagaimana Sunan Kalijaga menyadarkan sang bupati. Namun, pada akhirnya, sang bupati menyadari kelalaiannya, dan memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatan duniawi dan menyerahkan kekuasaan Semarang kepada adiknya.
Pangeran Mangkubumi kemudian berpindah ke selatan (entah karena diperintah sultan Demak Bintara ataupun atas kemauan sendiri, sumber-sumber saling berbeda versi), didampingi isterinya, melalui daerah yang sekarang dinamakan Salatiga, Boyolali, Mojosongo, Sela Gringging dan Wedi, menurut suatu babad. Konon sang pangeran inilah yang memberi nama tempat-tempat itu). Ia lalu menetap di Tembayat, yang sekarang bernama Bayat, Klaten, dan menyiarkan Islam dari sana kepada para pertapa dan pendeta di sekitarnya. Karena kesaktiannya ia mampu meyakinkan mereka untuk memeluk agama Islam. Oleh karena itu ia disebut sebagai Sunan Tembayat atau Sunan Bayat.

Rabu, 15 Januari 2014

berdirinya VOC di Indonesia

Sejarah Berdirinya VOC di Indonesia- Orang Belanda yang pertama kali datang ke Indonesia adalah Cornelis de Houtman pada tahun 1596, tepatnya ke daerah Banten. Dari Banten, Cornelis melanjutkan perjalanannnya ke tiap pusat rempah-rempah di Maluku. Ia kembali ke negerinya membawa banyak rempah-rempah. Sejak saat itu para bangsawan Belanda banyak berdatangan ke Indonesia. Agar tidak terjadi persaingan antar sesame pedagang Belanda, maka pada tahun 1602 didirikan perserikatan perusahaan Hindia Timur atau Vereenigde Ooost-Indische Compagnie (VOC) yang dipimpin seorang Gubernur Jendral, Pieter Both.
a. Berdirinya VOC
Untuk mengatasi persaingan tidak sehat dan sekaligus mematahkan dominasi Portugis, seorang anggota parlemen Belanda bernama Johan Van Oldebanevelt mengajukan sebuah usul, yaitu penggabungan (merger) seluruh perusahaan datang yang ada di Belanda menjadi satu serikat dagang.
Usulan tersebut mendapat sambutan baik. Pada tanggal 20 Maret 1602, berdiri Verenigde Oost Compagnie atau serikat perusahaan dagang hindia timur, yang biasa dikenal dengan VOC. Dengan modal pertama 6,5 miliar gulden, VOC dipimpin oleh tujuh belas direktur. Mereka dikenal dengan sebutan Heeren Zeventien.
Adapun tujuan dibentuknya VOC adalah sebagai berikut.
  1. Menghindari persaingan tidak sehat di antara sesame pedagang Belanda sehingga keuntungan maksimal dapat diperoleh.
  2. Memperkuat posisi Belanda dalam menghadapi persaingan bangsa-bangsa Eropa lainnya maupun dengan bangsa-bangsa Asia.
  3. Membantu dana pemerintah Belanda yang sedang berjuang menghadapi Spanyol yang masih menduduki Belanda.
b. Hak khusus VOC
Agar dapat melaksanakan tugasnya dengan leluasa, VOC diberi hak istimewa oleh pemerintah Belanda, yang dikenal sebagai Hak Octroi meliputi hal-hal berikut ini.
1. Monopoli Perdagangan.
2. Mencetak dan mengedarkan uang
3. Mengangkat dan memberhentikan pegawai.
4. mengadakan perjanjia dengan raja-raja
5. Memiliki tentaara untuk mempertahankan diri.
6. Mendirikan benteng.
7. Menyatakan perang dan damai.
8. Mengangkat dan memberhentikan penguasa-penguasa setempat.
Dengan hak khusus tersebut VOC menjadi lembaga pemerintahan dan sekaligus lembaga perdagangan yang otonom di wilayah jajahan. Kehadiran VOC di wilayah jajahan dipimpin oleh seorang gubernur jenderal, yang termasuk Heeren Zeventien. Gubernur Jendral menjalankan dua peran sekaligus, yaitu sebagai direktur perusahaan dan pimpinan pemerintahan.
c. Kegiatan VOC di Indonesia
Gubernur jendral VOC pertama adalah Piter Both. Dibawah pimpinannya, Kegiatan VOC di Indonesia mulai diorganisasi dan monopoli mulai dilakukan. Ia menentuka pusat kedudukan VOC di Ambon. Pilihan itu didasari bahwa dari Ambon kegiatan monopoli perdagangan rempah-rempah di Maluku akan lebih mudah dilakukan.
Pada perkembangan berikutnya, Pieter Both memindahkan pusat kedudukan VOC ke Jayakarta. Alasan memeilih Jayakarta adalah sebagai berikut.
- Jayakarta lebih strategis dibandingkan dengan Ambon karena terletak di tengah jalur perdagangan Asia.
- Dari Jayakarta, VOC kan lebih mudah menyingkrkan Portugis yang berkedudukan di Malaka.
Dalam melaksanakan rencana itu, Pieter Both meminta izin pengeran Jayakarta untuk mendirikan kantor dagang di Jayakarta, yang termasuk wilayah  kekuasaan Banten. Namun beberapa tahun kemudian, EIC dari Inggris juga diizinkan mendirikan kantor dagang di Jayakarta, akibatnya muncul persaingan antara VOC dan EIC.
Jan Pieterszoon Coen diangkat menjadi gubernur Jendral ketika EIC dan VOC memperebutkan pengaruh di Jayakarta. Untuk memenangkan persaingan, ia mendirikan benteng VOC di jayakarta. Benteng itu bernama Batavia. Kemudian ia menghasut penguasa Banten, Ranamenggala, untuk memecat pangeran Jayakarta sekaligus menutup izin berdagang EIC. Sejak tanggal 31 Mei 1619, VOC memperoleh hak penuh atas Jayakarta. Sejak itu pula, nama Jayakarta berubah menjadi Batavia.
Dari Batavia, VOC memperluas pengaruh ke berbagai wilayah di Indonesia. Perluasan pengaruh itu disertai penerapan monopoli perdagangan. Dengan kekuatan militer dan keahlian memecah belah, sejumlah wilayah tunduk pada pengaruh VOC. Untuk menjalankan monopoli perdagangan, Belanda membuat peraturan sebagai berikut.
- Petani rempah-rempah hanya boleh bertindak sebagai produsen. Hak jual beli hanya dimiliki VOC.
- Panen rempah-rempah harus dijual kepada VOC dengan harga yang ditentukan oleh VOC.
- Barang kebutuhan sehari-hari, seperti peralatan rumah tangga, garam, dan kain harus dibeli dari VOC dengan harga yang ditentukan VOC.
read more