Pendirian dan perkembangan
Kejadian yang memicu pendirian kota ini adalah berkobarnya
pemberontakan Sunan Kuning ("Gègèr Pacinan") pada masa pemerintahan Sunan
Pakubuwono II, raja
Kartasura tahun 1742. Pemberontakan dapat ditumpas dengan bantuan
VOC dan
keraton
Kartasura dapat direbut kembali, namun dengan pengorbanan hilangnya
beberapa wilayah warisan Mataram sebagai imbalan untuk bantuan yang
diberikan VOC. Bangunan keraton sudah hancur dan dianggap "tercemar".
Sunan Pakubuwana II lalu memerintahkan
Tumenggung Honggowongso (bernama kecil Joko Sangrib atau Kentol Surawijaya, kelak diberi gelar Tumenggung Arungbinang I) dan
Tumenggung Mangkuyudo serta komandan pasukan Belanda,
J.A.B. van Hohendorff, untuk mencari lokasi
ibu kota/keraton
yang baru. Untuk itu dibangunlah keraton baru 20 km ke arah tenggara
dari Kartasura, pada 1745, tepatnya di Desa Sala di tepi Bengawan Solo.
Nama "Surakarta" diberikan sebagai nama "wisuda" bagi pusat pemerintahan
baru ini. (Catatan-catatan lama menyebut bentuk antara "Salakarta"
[2]). Pembangunan keraton ini menurut catatan
[siapa?] menggunakan bahan kayu
jati dari kawasan Alas Kethu, hutan di dekat Wonogiri Kota dan kayunya dihanyutkan melalui Bengawan Solo. Secara resmi, keraton mulai ditempati tanggal
17 Februari 1745 (atau Rabu Pahing 14 Sura 1670
Penanggalan Jawa,
Wuku Landep,
Windu Sancaya).
Surat Perjanjian Giyanti dari tahun
1755 yang sekarang disimpan di Arsip Nasional RI.
-
Lambang Kasunanan Surakarta
-
Lambang Praja Mangkunagaran
Berlakunya
Perjanjian Giyanti (
13 Februari 1755) menyebabkan Surakarta menjadi pusat pemerintahan
Kasunanan Surakarta, dengan rajanya
Pakubuwono III. Yogyakarta menjadi pusat pemerintahan
Kasultanan Yogyakarta, dengan rajanya Mangkubumi (Sultan Hamengkubuwono (HB) I). Keraton dan kota Yogyakarta mulai dibangun pada
1755, dengan pola tata kota yang sama dengan Surakarta yang lebih dulu dibangun.
Perjanjian Salatiga 1757 memperluas wilayah kota ini, dengan diberikannya wilayah sebelah utara keraton kepada pihak
Pangeran Sambernyawa (Mangkunagara I). Sejak saat itu, Sala merupakan kota dengan dua sistem administrasi, yang berlaku hingga 1945, pada masa
Perang Kemerdekaan Republik
Indonesia (RI).
Masa kolonial Belanda 1757-1942
Surakarta pada masa kolonial Belanda merupakan daerah Vorstenlanden atau
swapraja,
yaitu daerah yang berhak memerintah sendiri / tidak diatur oleh UU
seperti daerah lain tetapi diatur dengan kontrak politik antara Gubernur
Jenderal dan Sri Sunan. Ada dua macam kontrak politik, yaitu kontrak
panjang tentang kesetaraan kekuasaan keraton dengan Belanda, dan
pernyataan pendek tentang pengakuan atas kekuasaan Belanda. Kasunanan
Surakarta diatur dalam kontrak panjang, sementara Mangkunegaran diatur
dalam pernyataan pendek.
[3]
Sejak Gubernur Jenderal G.J. Van Heutz (1851-1924), setiap terjadi
pergantian raja, maka diadakan pembaharuan kontrak. Kontrak terakhir
untuk Kasunanan diatur dalam S 1939/614, sedangkan untuk Mangkunegaran
diatur dalam S 1940/543.
[3]
Masa pendudukan Jepang 1942-1945
Surakarta pada masa pendudukan Jepang merupakan daerah Kochi atau daerah istimewa. Sri Sunan disebut sebagai Surakarta Koo dan Mangkunegara disebut sebagai Mangkunegoro Koo. Pemerintahan Surakarta disebut sebagai Kooti Sumotyookan.
Ketika Jepang mengalami banyak kekalahan dalam Perang Dunia II, maka
Jepang mendorong pembentukan badan-badan yang merancang kemerdekaan
Indonesia, yaitu
BPUPKI dan
PPKI. Surakarta sebagai daerah kochi diikutkan dalam keanggotaan BPUPKI dalam merancang UUD 1945. Anggota BPUPKI dari Surakarta adalah
Wongsonegoro,
Wuryaningrat,
Sosrodiningrat, dan
Radjiman Widyodiningrat.
[3]
Masa Perang Kemerdekaan 1945-1949
Pada masa ini terjadi sejumlah peristiwa politik yang menjadikan
wilayah Surakarta kehilangan hak otonominya. Pada masa perang revolusi,
Pakubuwana XII naik takhta hampir bersamaan dengan lahirnya
Republik Indonesia. Tidak lama setelah
proklamasi kemerdekaan Indonesia, pada tanggal 1 September 1945, Sri Sunan
Pakubuwana XII
mengeluarkan maklumat yang menyatakan bahwa Negeri Surakarta
Hadiningrat yang bersifat kerajaan adalah daerah istimewa dari negeri
Republik Indonesia dan berdiri di belakang pemerintahan pusat RI. Pada
tanggal 6 September 1945 pemerintah RI memberikan piagam kedudukan
kepada Sri Sunan Pakubuwana XII yang ditandatangani oleh Soekarno dan
tertanggal 19 Agustus 1945.
[3]
Komitmen pemerintah untuk menjadikan Surakarta menjadi daerah istimewa ditunjukkan dengan diangkatnya
Panji Suroso
tanggal 19 Oktober 1945 sebagai komisaris tinggi untuk Surakarta yang
bersifat istimewa. Pengakuan tersebut masih diperkuat lagi dengan
pemberian pangkat militer kepada Sri Sunan Pakubuwana XII dengan pangkat
Letnan Jenderal pada tanggal 1 November 1945.
[3]
Belanda yang tidak merelakan kemerdekaan
Indonesia berusaha merebut kembali negeri ini dengan kekerasan. Pada bulan
Januari 1946 ibu kota
Indonesia terpaksa pindah ke
Yogyakarta karena
Jakarta jatuh ke tangan
Belanda.
Pemerintahan
Indonesia saat itu dipegang oleh
Sutan Syahrir sebagai
perdana menteri, selain
Presiden Sukarno
selaku kepala negara. Sebagaimana umumnya pemerintahan suatu negara,
muncul golongan oposisi yang tidak mendukung sistem pemerintahan
Sutan Syahrir, misalnya kelompok
Jenderal Sudirman.
Karena
Yogyakarta menjadi pusat pemerintahan, secara otomatis
Surakarta
yang merupakan saingan lama menjadi pusat oposisi. Kaum radikal bernama
Barisan Banteng yang dipimpin Dr. Muwardi dengan berani menculik
Pakubuwana XII sebagai bentuk protes terhadap pemerintah
Indonesia.
Barisan Banteng berhasil menguasai
Surakarta sedangkan pemerintah
Indonesia tidak menumpasnya karena pembelaan
Jendral Sudirman. Bahkan,
Jendral Sudirman juga berhasil mendesak pemerintah sehingga mencabut status daerah istimewa yang disandang
Surakarta. Sejak tanggal
1 Juni 1946 Kasunanan Surakarta hanya berstatus karesidenan yang menjadi bagian wilayah provinsi
Jawa Tengah. Pemerintahan dipegang oleh kaum sipil, sedangkan kedudukan Pakubuwana XII hanya sebagai simbol saja.
Pada awal pemerintahannya, Pakubuwana XII dinilai gagal mengambil peran penting dan memanfaatkan situasi politik
Republik Indonesia, sehingga pamornya di mata rakyat kalah dibanding
Hamengkubuwana IX di
Yogyakarta.
D.I. Surakarta dan Pemberontakan Tan Malaka
Begitu mendengar pengumuman tentang kemerdekaan RI, pemimpin
Mangkunegaran (Mangkunegara VIII dan Susuhunan Sala (Pakubuwana XII)
mengirim kabar dukungan ke Presiden RI Soekarno dan menyatakan bahwa
wilayah Surakarta (Mangkunegaran dan Kasunanan) adalah bagian dari RI.
Sebagai reaksi atas pengakuan ini, Presiden RI Soekarno menetapkan
pembentukan propinsi Daerah Istimewa Surakarta (DIS).
[rujukan?]
read more